Senin, 05 Desember 2016

Membingkai Nusantara: Antara Sasak dan Jawa


Ada begitu banyak perbedaan antara Sasak dan Jawa. Misalnya, dari segi bahasa, ragam bahasa Sasak sangatlah banyak macamnya. Ragam macamnya ini, tidak hanya antar Kabupaten tapi juga antar kecamatan atau desa sekalipun yang ada di Lombok. Misalnya, untuk menyebut ngemil di daerah Suralaga menggunaka istilah bekelor. Itu tergolong secara strata bahasa halus, tapi kalau di daerah Selong itu tergolong kasar. Bahkan, pernah sewaktu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Timur mengatakan, ”mbe le kanda?” untuk mengatakan maksud dimana rumah kamu, para pelajar di daerah dusun Labuhan Haji tak mengerti apa maksudnya.

Itu baru yang terjadi di Lombok Timur. Berbeda lagi dengan apa yang terjadi di Lombok Tengah, dan Lombok Utara. Bahkan Lombok Barat sangat jauh perbedaannya. Lombok Timur, secara adat dan sejarah, kuat dengan nuansa Islam-nya, tapi Lombok Barat kental dengan nuansa peninggalan Hindu-Budha nya. Oleh karena itu, jika di Lombok Timur terkenal karena banyak Masjid-nya, Lombok Barat terkenal dengan banyak Pura-nya. Di Lombok Barat, ada blankon khas yang disebut dengan Sapu/ Udeng. Tapi, di Lombok Timur, blankon tersebut tak begitu familiar. Bahkan orang Lombok Timur yang menggunakan Sapu/ Udeng tersebut dianggap bukan orang Lombok Timur. Sehingga, dengan kata lain ragam Sasak di Pulau Lombok sangatlah plural atau heterogen.

Hal di atas sangat berbeda dengan yang ada di Jawa. Di Jawa, orang bisa berlogat Jawa berbeda, secara umum jika sudah berbeda Kabupaten. Misalnya, Jawa-nya Purwekerto terkenal dengan istilah ngapak-ngapak. Tapi, Jawanya di Solo terkenal sangat halus pembawaannya. Berbeda lagi dengan yang ada di Semarang. Misalnya, penyebutan berapa di Jawa bagian utara (Semarang, Kendal, dsb) itu pira. Tapi, di Jawa bagian utara (Yogya, Solo, dsb) itu piro. Meskipun berbeda bentuk blankon Solo dan Yogya, tapi secara umum tak jauh berbeda. Jawa, secara adat, masih cenderung homogen.

Tapi, meskipun berbeda antara Jawa dan Sasak (Lombok), terrnyata di antara keduanya, banyak persamaannya. Selama penulis bertandang lebih dari 2 kali ke sini, penulis mengamati bahwa ada banyak peninggalan Jawa yang masih tersemat di dalam budaya Sasak, atau pun Lombok secara basis geografi. Misalnya, di Lombok Timur banyak nama daerah (desa atau kecamatan) yang mirip dengan nama di Jawa: Surabaya, Wanasaba, Kediri, dan sebagainya. Bahkan Lombok, semakin ke timur, mirip seperti Jawa Timur: semakin banyak pesantrennya.

Di bahasa Sasak pun masih ada pengaruh dari Bahasa Jawa. Misalnya, untuk menyebut berapa, di Jawa menyebut dengan piro. Tapi, di Sasak menyebut dengan pire. Untuk menyebut makan dengan strata yang halus pun sama bahasanya: dahar. Mirip dengan penyebutan sudah, yaitu sampun. Bahkan, untuk menyebut tiga dan tujuh, sama-sama seperti bahasa Jawa: telu dan pitu. Oleh karena itu, di daerah KLU (Kabupaten Lombok Utara) ada istilah Islam wetu telu, untuk menggambarkan cara beragama Islam masyarakat setempat dalam tiga waktu. Pun halnya dengan Budaya Jangger yang mirip dengan di Jawa.

Well, akhirnya penulis memahami bahwa antara Sasak dan Jawa, meski dipisah oleh sebuah pulau Bali, tak membuat rentang budaya diantara keduanya terlalu lebar. Lombok masih memiliki pengaruh peninggalan-peninggalan Kerajaan Majapahit zaman dahulu. Pun juga banyak anak-anak muda dari Lombok yang kuliah di Jawa, khususnya di Universitas Gadjah Mada, dan di daerah-daerah Jawa lainnya. Karena kita satu, Indonesia. Dan antara Sasak dan Jawa, hanya dapat dibingkai dalam satu kesatuan bernama Nusantara. Membingkai Nusantara.

Sumber: punyaridwan