Meski tercatat sebagai produsen rumput laut, Indonesia masih banyak mengimpor produk olahan rumput laut karena sebagian besar ekspornya berupa bahan baku.
Andai saja investor pengolahan mau terjun ke Nusa Tenggara Barat, mereka tak akan kekurangan bahan baku.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terbilang penghasil komoditas perikanan cukup besar untuk Kawasan Timur Indonesia. Sekitar 70% produksi ikannya berasal dari tangkapan, sisanya hasil budidaya. Kini porsi produksi ikan dari penangkapan menurun dibandingkan dari hasil budidaya. Salah satu komoditas budidaya yang cukup menonjol adalah rumput laut. Hingga tahun silam, produksi rumput laut NTB mencapai 31.162,8 ton senilai Rp19-miliar lebih. Produksi sebanyak ini berasal dari areal seluas 6.390,3 ha dan melibatkan 2.916 orang pembudidaya. Masih ada sekitar 15.000 ha lagi perairan yang potensial untuk budidaya rumput laut belum tergarap.
Wilayah pengembangan rumput laut saat ini tersebar di sepanjang perairan pantai dan teluk-teluk di seluruh kabupaten se-NTB. Sentra produksinya terdapat di Teluk Gerupuk yang termasuk Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kab. Lombok Tengah dengan volume 14.416 ton. Sentra lainnya di kawasan Teluk Ekas, Kab. Lombok Timur dengan produksi sebanyak 2.151 ton. Daerah pengembangan lainnya ada di Pengantap (Kab. Lombok Barat), Pulau Medang, Pulau panjang, Lab. Teratak, Lab. Sanggar dan Lab. Bontong (Kab. Sumbawa), Kwangko (Kab. Dompu) dan Teluk Waworada (Kab. Bima).
Pemanfaatan areal di kedua wilayah sentra produksi tersebut terbilang relatif masih rendah sehingga perlu dipacu dan didukung pemerintah maupun swasta. Swasta dapat berperan menjadi lokomotif dalam pengembangan rumput laut. Dari sisi investasi, kedua lokasi itu cukup mudah dijangkau karena hanya berjarak 1,5 jam perjalanan darat dari ibukota provinsi, Mataram. Prasarana jalan menuju lokasi pun memadai berupa hotmix dan jalan beraspal. Demikian pula sarana angkutan umum berupa angkutan pedesaan pun menjangkau wilayah itu. Sungguh sayang bila potensi tersebut ditelantarkan.
Kondisi Budidaya
Rumput laut yang dikembangkan di NTB umumnya dari jenis Eucheuma spinosum, E. cottonii, dan Gracillaria sp. Mereka menerapkan beberapa metode budidaya di antaranya metode dasar (diikat pada substrat), metode lepas dasar (patok), metode rakit apung, dan metode tali panjang (long line). Metode dasar dan lepas dasar berkembang di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Metode rakit apung disukai di Lombok Timur, sedangkan metode tali panjang banyak ditemukan di Sumbawa.
Bibit rumput laut berasal dari stok alam dan hasil budidaya. Bibit unggul rumput laut merupakan hasil seleksi talus dari beberapa lokasi. Selama ini ada kendala pasokan bibit siap tanam. Tatkala musim optimal bertanam mulai berjalan, petani harus menghabiskan waktu untuk menyiapkan bibit sehingga waktu berproduksi terampas paling tidak dua bulan. Syukurlah kendala ini mulai teratasi dengan penyediaan bibit awal oleh unit pelaksana teknis (UPT) setempat yaitu Loka Budidaya Laut Lombok Stasiun Gerupuk yang telah ditetapkan sebagai Seaweeds Central. Demikian pula upaya identifikasi lokasi yang benar-benar potensial telah dilakukan untuk mencapai produksi optimal.
Saat ini bisnis rumput laut di NTB baru sampai produksi bahan baku untuk ekspor. Industri pengolahan yang memproduksi karaginan misalnya, belum ada. Kalau pun ada, baru sebatas memproduksi bahan setengah jadi untuk karaginan dan tepung rumput laut. Produk olahan rumput laut berupa dodol, manisan, dan jeli sudah dapat dihasilkan pemilik merk Phoenix Mas di kota Mataram. Padahal produk olahan lain dari rumput laut amat beragam dan menjanjikan peluang yang besar, hingga sekarang belum ada investor yang menggarap lahan usaha ini di provinsi tersebut.
Mutu Masih Jadi Masalah
Salah satu permasalahan dalam bisnis rumput laut di sana adalah umur panen dan mutu. Petani umumnya memanen rumput laut sebelum mencapai 45 hari masa pemeliharaan. Mereka rata-rata menghasilkan rumput laut dengan mutu rendah. Kadar airnya 40—50% dan kadar kotoran pun mencapai 10%. Padahal standar mutu yang layak diperdagangkan paling tidak berkadar air 30—35% dan kotoran maksimal 1%. Rendahnya mutu ini terjadi lantaran sebagian besar dari mereka masih melakukan penjemuran di atas pasir tanpa alas sehingga rumput laut yang dihasilkan kotor. Hanya sedikit yang menjemur dengan alas dan para-para bambu. Tambahan lagi, para pedagang/tengkulak juga tidak membeda-bedakan harga rumput laut berdasarkan mutu saat membeli di tingkat petani. Akibatnya tidak ada insentif bagi petani untuk meningkatkan mutu produksinya.
Perkembangan bisnis rumput laut sangat berkorelasi dengan harga di tingkat petani. Kalau saja harga bisa dipertahankan dalam kondisi menguntungkan bagi petani, mudahlah bagi para pelaku industri pengolahan untuk mendapatkan bahan baku. Syaratnya, mereka terlibat dalam kegiatan membina petani agar mampu menghasilkan bahan baku sesuai mutu yang diharapkannya. Jika tak terjun langsung, mereka bisa bersama-sama pemda atau pihak mediator lain misalnya UPT, meningkatkan mutu rumput laut produksi petani sampai siap diperdagangkan di tingkat internasional atau diolah. Kemitraan yang saling menguntungkan antara industri pengolahan besar dengan pemasok dan petani adalah jawaban bagi permasalahan mutu.
Bila permasalahan teknis budidaya dan mutu bisa diatasi, niscaya cita-cita untuk menjadi sentra rumput nasional tidaklah sekadar cita-cita. Dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif dari pihak terkait, investor akan menyambar peluang yang ditawarkan di provinsi ini. Pada akhirnya, masyarakat pesisir yang umumnya berpenghasilan rendah akan lebih produktif dan kesejahteraan mereka akan meningkat. Selamat datang investor.
Sumber: bp3kjerowarulotim