Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan adanya persaingan pada berbagai aspek diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas agar mampu bersaing dengan negara lain. Di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 disebutkan bahwa arah kebijakan pembangunan kesehatan antara lain adalah untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat serta meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan non kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan.
Masalah kesehatan yang terkait gizi di Indonesia semakin kompleks dalam beberapa dekade mendatang karena Indonesia masih memerlukan waktu panjang untuk mengatasi kemiskinan yang erat kaitannya dengan kekurangan gizi (undernutrition). Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah gizi kurang seperti Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Di sisi lain, prevalensi gizi lebih (overnutrition) dengan segala implikasinya pada kesehatan dari waktu ke waktu cenderung meningkat seiring dengan derasnya arus global yang mempengaruhi budaya dan pola makan masyarakat Indonesia.
Munculnya kasus gizi buruk NTB dan beberapa daerah lain di Indonesia pada pertengahan tahun 2005 lalu sangat menggemparkan segenap elemen masyarakat ,meskipun hal tersebut bukan merupakan hal baru di Indonesia. Gizi buruk ini merupakan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun serta tingginya kejadian infeksi. Semua masalah gizi tersebut berpengaruh terhadap pembentukan kualitas sumber daya manusia sebagai aset penting dalam pembangunan.
Masalah gizi klinis sebagai masalah gizi yang ditinjau secara individual mengenai apa yang terjadi dalam tubuh seseorang dan memerlukan penanganan secara individual juga semakin beragam dan kompleks. Adanya kecenderungan peningkatan kasus penyakit yang terkait gizi pada semua kelompok rentan dari ibu hamil bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut menunjukkan semakin dirasakan perlunya penanganan secara khusus. Semua ini memerlukan pelayanan gizi yang bermutu yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi yang optimal sehingga tidak terjadi kurang gizi serta untuk menunjang mempercepat penyembuhan.
Resiko kurang gizi akan muncul secara klinis pada orang sakit terutama pada penderita anoreksia, kondisi mulut gigi geligi buruk serta kesulitan menelan, penyakit saluran cerna, infeksi berat dan pasien yang menjalani kemoterapi. Hasil penelitian Sunita Almatsier yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta tahun 1991 menunjukkan 20% – 60% pasien menderita kurang gizi saat di rumah sakit. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit. Sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Oleh karena itu pelayanan gizi yang bermutu yang diaplikasikan melalui terapi gizi medis yang tepat berdasarkan keadaan klinis pasien, status gizi dan status metabolisme tubuh pasien mutlak diperlukan.
Terapi gizi medis merupakan integrasi antara ilmu gizi, medis dan ilmu perilaku yang memungkinkan tenaga kesehatan membuat perubahan yang bermakna pada kehidupan pasien. Terapi gizi medis menekankan pentingnya pengkajian pasien secara mendalam dan komprehensif sehingga intervensi gizi dapat dilakukan secara individual dan tepat, di mana pelaksanaannya harus holistik dan dinamis mengikuti perkembangan klinis pasien serta diperlukan kerja sama yang baik antara dokter, dietisien, perawat dan petugas lain yang terkait sejalan dengan pelaksanaan penanggulangan gizi buruk.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya untuk meningkatkan status gizi masyarakat dan penanggulangan masalah gizi baik gizi masyarakat maupun gizi klinik (individu) makin mendapat prioritas dalam strategi Pembangunan Nasional, sehingga pemecahan masalah gizi ditempatkan sebagai ujung tombak paradigma sehat untuk mencapai Indonesia Sehat 2010. Dengan demikian, untuk dapat mengatasi masalah gizi yang kompleks tersebut dengan sumber daya dan dana terbatas diperlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen pelayanan gizi yang memadai. Di samping itu usaha-usaha promotif dan edukatif dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas juga harus menjadi bagian terpadu dari penanganan masalah gizi di NTB.
Untuk mewujudkan itu, maka harus ada ketersediaan tenaga kesehatan khususnya tenaga gizi (Dietisien) Puskesmas Perawatan yang mandiri dan profesional serta mampu mengedepankan pelayanan terbaik mutlak diperlukan mengingat pentingnya peranan gizi dalam mempercepat proses penyembuhan pasien. Tenaga gizi di NTB saat ini, khususnya dengan latar belakang Diploma maupun Sarjana Gizi secara kuantitas dan kualitas masih kurang sehingga kompetensi tenaga yang ada, kurang sesuai dengan lingkup permasalahan ataupun program yang berkembang.
Sehubungan dengan tuntutan profesionalisme ahli gizi dalam pengembangan pergizian di NTB terutama dalam peranannnya sebagai pengelola dan pelaksana asuhan gizi, pelayanan gizi masyarakat dan sebagai pelaku praktek kegizian serta mengingat makin kompleknya permasalahan gizi klinik di masyarakat dan puskesmas, maka peningkatan pendidikan bagi tenaga gizi relevan dengan kebutuhan tersebut. Keberadaan tenaga gizi tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan ketenagaan di Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu provinsi dengan kasus-kasus gizi yang cukup banyak. Di samping itu tujuan dengan adanya peningkatan tenaga tersebut diharapkan mampu meningkatkan pula wawasan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga gizi yang lain sehingga pada akhirnya dapat berkiprah secara maksimal dan profesional dalam pembangunan khususnya dalam upaya penanggulangan masalah gizi dan kesehatan di NTB.
Penulis: Susilo Wirawan, SKM/Anggota Persagi Prop. NTB)
Sumber: persagintb